Pak Hamid duduk termangu.
Dipandanginya benda-benda yang berjajar di depannya dengan masygul.
Bertahun-tahun dimilikinya dengan penuh kebanggaan. Dirawat dengan baik
hingga selalu bersih dan mengkilap. Jika ada orang yang bertanya, Pak
Hamid akan bercerita dengan penuh kebanggaan.
Siapa yang tidak bangga
memiliki benda-benda itu? Berbagai plakat penghargaan yang diterimanya
selama 35 tahun pengabdiannya sebagai guru di daerah terpencil. Daerah terisolasi yang tidak diminati oleh guru-guru yang lain.
Namun Pak Hamid ikhlas
menjalaninya, walau dengan gaji yang tersendat dan minimnya fasilitas
sekolah. Cinta Pak Hamid pada anak-anak kecil yang bertelanjang kaki dan
rela berjalan jauh untuk mencari ilmu, mampu menutup keinginannya untuk
pindah ke daerah lain yang lebih nyaman.
Kini masa itu sudah lewat.
Masa pengabdiannya usai sudah pada usianya yang keenam puluh. Meskipun
berat hati, Pak Hamid harus meninggalkan desa itu beserta keluarganya.
Mereka tinggal di rumah peninggalan mertuanya di pinggir kota. Jauh dari
anak didik yang dicintainya, jauh dari jalan tanah, sejuknya udara dan
beningnya air yang selama ini menjadi nafas hidupnya.
“Hei, jualan jangan sambil melamun!” teriak pedagang kaos kaki di sebelahnya. Pak Hamid tergagap.
“Tawarkan jualanmu itu pada
orang yang lewat. Kalau kamu diam saja, sampek elek ra bakalan payu!”*
kata pedagang akik di sebelahnya.
“Jualanmu itu menurutku agak
aneh,” ujar pedagang kaos kaki lagi. “Apa ada yang mau beli
barang-barang seperti itu ? Mungkin kamu mesti berjualan di tempat
barang antik. Bukan di kaki lima seperti ini”.
Pak Hamid tak menjawab. Itu
pula yang sedang dipikirkannya. Siapa yang tertarik untuk membeli
plakat-plakat itu? Bukanlah benda-benda itu tidak ada gunanya bagi orang
lain, sekalipun sangat berarti baginya ?
“Sebenarnya kenapa sampai kau jual tanda penghargaan itu ?” tanya pedagang akik.
“Saya butuh uang.”
“Apa istri atau anakmu sedang sakit ?”
“Tidak. Anak bungsuku hendak masuk SMU. Saya butuh uang untuk membayar uang pangkalnya.”
“Kenapa tidak ngutang dulu. Siapa tahu ada yang bisa membantumu.”
“Sudah. Sudah kucoba kesana-kemari, namun tak kuperoleh juga.”
“Hei, bukankah kau punya gaji...eh... pensiun maksudku.”
“Habis buat nyicil montor untuk ngojek si sulung dan buat makan sehari-hari.”
Penjual akik terdiam.
Mungkin merasa maklum, sesama orang kecil yang mencoba bertahan hidup di
kota dengan berjualan di kaki lima .
“Kau yakin jualanmu itu akan laku?”penjual kaos kaki bertanya lagi setelah beberapa saat. Matanya menyiratkan iba.
“Insya Allah. Jika Allah menghendaki aku memperoleh rejeki, maka tak ada yang dapat menghalanginya.”
Siang yang panas. Terik
matahari tidak mengurangi hilir mudik orang-orang yang berjalan di kaki
lima itu. Beberapa orang berhenti, melihat-lihat akik dan satu dua orang
membelinya. Penjual akik begitu bersemangat merayu pembeli. Rejeki
tampaknya lebih berpihak pada penjual kaos kaki. Lebih dari dua puluh
pasang kaos kaki terjual. Sedangkan jualan Pak Hamid, tak satupun yang
meliriknya.
Keringat membasahi tubuh Pak
Hamid yang mulai renta dimakan usia. Sekali lagi dipandanginya
plakat-plakat itu. Kegetiran membuncah dalam dadanya. Berbagai
penghargaan itu ternyata tak menghidupinya. Penghargaan itu hanya
sebatas penghargaan sesaat yang kini hanya tinggal sebuah benda tak
berharga.
Sebuah ironi yang sangat
pedih. Tak terbayangkan sebelumnya. Predikatnya sebagai guru teladan
bertahun yang lalu, tak sanggup menghantarkan anaknya memasuki sekolah
SMU. Sekolah untuk menghantarkan anaknya menggapai cita-cita, yang dulu
selalu dipompakan ke anak-anak didiknya. Saat kegetiran dan keputusasaan
masih meliputinya, Pak Hamid dikejutkan oleh sebuah suara.
“Bapak hendak menjual
plakat-plakat ini?” seorang lelaki muda perlente berjongkok sambil
mengamati jualan Pak Hamid. Melihat baju yang dikenakannnya dan mobil
mewah yang ditumpanginya, ia sepertinya lelaki berduit. Pak Hamid
tiba-tiba berharap.
“Ya...ya..saya memang menjual plakat-plakat ini,” jawab Pak Hamid gugup.
“Berapa bapak jual setiap satuannya?”
Pak Hamid berfikir,”Berapa ya? Bodoh benar aku ini. Dari tadi belum terpikirkan olehku harganya.”
“Berapa, Pak?”
“Eee...tiga ratus ribu.”
“Jadi semuanya satu juta lima ratus. Boleh saya beli semuanya ?”
Hah! Dibeli semua, tanpa
ditawar lagi! Kenapa tidak kutawarkan dengan harga yang lebih tinggi?
Pikir Pak Hamid sedikit menyesal. Tapi ia segera menepis sesalnya.
Sudahlah, sudah untung bisa laku.
“Apa bapak punya yang lain. Tanda penghargaan yang lain misalnya ...”
Tanda
penghargaan yang lain? Pak Hamid buru-buru mengeluarkan beberapa piagam
dari tasnya yang lusuh. Piagam sebagai peserta penataran P4 terbaik,
piagam guru matematika terbaik se kabupaten, bahkan piagam sebagai
peserta Jambore dan lain-lain piagam yang sebenarnya tidak begitu
berarti. Semuanya ada sepuluh buah.
“Bapak kasih harga berapa satu buahnya ?”
“Dua ratus ribu.” Hanya itu yang terlintas di kepalanya.
“Baik. Jadi semuanya seharga
tiga juta lima ratus ribu. Bapak tunggu sebentar, saya akan ambil uang
di bank sana itu.” kata lelaki perlente itu sambil menunjuk sebuah bank
yang berdiri megah tak jauh dari situ.
“Ya...ya..saya tunggu.” kata Pak Hamid masih tak percaya.
Menit-menit yang berlalu
sungguh menggelisahkan. Benarkah lelaki muda itu hendak membeli
plakat-plakat dan berbagai tanda penghargaannya? Atau dia hanya penipu
yang menggoda saja? Pak Hamid pasrah.
Tapi nyatanya, lelaki itu
kembali juga akhirnya dengan sebuah amplop coklat di tangannya. Pak
Hamid menghitung uang dalam amplop, lalu buru-buru membungkus
plakat-plakat dan berbagai tanda penghargaan miliknya dengan kantong
plastik, seakan-akan takut lelaki muda itu berubah pikiran.
Dipandangnya lelaki muda itu
pergi dengan gembira bercampur sedih. Ada yang hilang dari dirinya.
Kebanggaan atau mungkin juga harga dirinya. Pak Hamid kini melipat alas
dagangannya dan segera beranjak meninggalkan tempat itu, meninggalkan
pedagang akik dan kaos kaki yang terbengong-bengong. Entah apa yang
mereka pikirkan. Namun, ia tak sempat berfikir soal mereka, pikirannya
sendiri pun masih kurang dapat mempercayai apa yang baru saja terjadi.
“Lebih baik pulang jalan
kaki saja. Mungkin sepanjang jalan aku bisa menata perasaanku. Sebaik
mungkin. Aku tidak ingin istriku melihatku merasa kehilangan
plakat-plakat itu. Aku tidak ingin ia melihatku menyesal telah
menjualnya. Karena aku ingin anakku sekolah, aku ingin dia sekolah!” Pak
Hamid bertutur panjang dalam hati.
Ia melangkah gontai menuju
rumah. Separuh hatinya begitu gembira, akhirnya si bungsu dapat sekolah.
Tiga setengah juta cukup untuk membiayai uang pangkal dan beberapa
bulan SPP. Namun, separuh bagian hatinya yang lain menangis, kehilangan
plakat-plakat itu, yang sekian tahun lamanya selalu menjadi
kebanggaannya.
Jarak tiga kilometer dan
waktu yang terbuang tak dipedulikannya. Sesampainya di rumah, istrinya
menyambutnya dengan wajah khawatir.
“Ada apa, Pak? Apa yang
terjadi denganmu? Tadi ada lelaki muda yang mencarimu. Dia memberikan
bungkusan ini dan sebuah surat. Aku khawatir sampeyan ada masalah.”
Pak Hamid tertegun.
Dilihatnya kantong plastik hitam di tangan istrinya. Sepertinya ia
mengenali kantong itu. Dibukanya kantong itu dengan terburu-buru.
Dan...plakat- plakat itu, tanda penghargaan itu ada di dalamnya!
Semuanya! Tak ada yang berkurang satu bijipun! Apa artinya ini? Apakah
lelaki itu berubah pikiran? Mungkin ia bermaksud mengembalikan semuanya.
Atau mungkin harga yang diberikannya terlalu mahal.
Batin Pak Hamid bergejolak
riuh. Segera dibukanya surat yang diangsurkan istrinya ke tangannya.
Sehelai kartu nama terselip di dalam surat pendek itu.
Pak Hamid yang saya cintai,
Saya
kembalikan plakat-plakat ini. Plakat-plakat ini bukan hanya berarti
untuk Bapak, tapi juga buat kami semua, murid-murid Bapak. Kami bangga
menjadi murid Bapak. Terima kasih atas semua jasa Bapak.
Gunarto, lulusan tahun 75.
Tak ada kata-kata. Hanya derasnya air mata yang membasahi pipi Pak Hamid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar